Kami telah memperbarui tampilan website, klik disini untuk mengakses versi lama website kami.

Talkshow: Harmonisasi Alam dan Budaya untuk Pengembangan Wisata Alam NTT: Mulai dari Pengembangan UMKM hingga Pengaturan Pengunjung

Serangkaian talkshow digelar dalam rangka Peringatan Puncak Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) Tahun 2021, Senin, 22 November 2021, di Pantai Lasiana, TWA Teluk Kupang, Kupang Nusa Tenggara Timur. Sejalan dengan tema peringatan HKAN 2021 tema “Bhavana Satya Alam Budaya Nusantara: Memupuk Kecintaan pada Alam dan Budaya Nusantara” talkshow kali ini diisi dengan menghadirkan para pembicara dan praktisi yang mumpuni dalam pelestarian alam dan budaya lokal Nusa Tenggara Timur dalam mendukung pelestarian alam.

Hadir dalam talkshow ini yaitu Ketua Dekanasdra: Julie Sutrisno, Budayawan NTT – Frans Sarong, Prof. Fredrik L Benu M.Si, PhD, Pelaku Wisata-Odi Mesak, ASITA NT T- Albert Frans. Diikuti sekitar 200 orang peserta HKAN dan tamu undangan, diskusi yang dipandu oleh Kak Ipam – Pramu Risanto-Tenaga Ahli Menteri bidang Kepemudaan dan Pramuka sebagai moderator dan dimeriahkan oleh pengiat alam Alfira Naftali Pangalila atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kak Abek sebagai pemantik diskusi berjalan hangat dengan diskusi yang berisi.

Sebagai pembuka, Julie Sutrisno Laiskodat selaku Ketua Dekanasdra menyampaikan bahwa NTT memiliki potensi keindahan alam yang sangat indah disertai dengan keberagaman budaya yang juga sangat tinggi. Sebut saja, beberapa objek dan destinasi wisata alam yang ada di NTT, seperti danau kelimutu, Komodo, pantai, batuan granit dan lainnya yang beberapa diantaranya merupakan kawasan konservasi. Dari sisi budaya, NTT juga memiliki 377 motif dari seluruh NTT dan berbagai macam kuliner dari masyarakat lokal. Karena itu, salah satu program utama pemerintah provinsi NTT adalah pengembangan pariwisata alam, tidak hanya karena adanya potensi tetapi juga karena pengembangan pariwisata diyakini mampu mengangkat semua sektor lainnya. Melalui Dekansdra. Pemerintah NTT berupaya untuk mengembangkan UMKM di seluruh wilayah NTT untuk mendukung pariwisata dengan karakteristik atau kekhasan wilayah masing-masing. Tidak hanya pengembangan produk tetapi juga hingga pemasaran dan promosi termasuk dukungan fasilitas bagi pengembangan usaha tersebut.

Kemudian budayawan NTT-Frans Sarong berkisah, bahwa dahulu pengelolaan kawasan konservasi (KK) di Nusa Tenggara Timur dominan dengan pendekatan kekuasaan”, pengelolaan kolaborasi dengan masyarakat adalah keniscayaan. Kemudian sejak tahun 2012 (saat Wiratno- kepala Balai Besar KSDA NTT saat itu) mencoba merubah cara pengelolaan kawasan konservasi menjadi “pengelolaan kawasan konservasi dengan harmonisasi kawasan serta kearifan lokal/budaya masyarakat setempat yang dikenal dengan pendekatan Wae Lu’u (pendekatan tiga pilar melibatkan pemerintah, lembaga adat, dan lembaga budaya). Pendekatan ini lebih berhasil dibandingkan dengan pendekatan kekuasaan sebelumnya dan membuktikan bahwa dalam mengelola kawasan konservasi tidak bisa meninggalkan masyarakat dan dan budaya lokal setempat.

Yang menarik lainnya, seperti yang disampaikan oleh Prof. Fredrik L Benu M.Si, PhD bahwa salah satu kearifan lokal masyarakat NTT yang masih bertahan yaitu pola tanam heterokultur yang menggunakan satu lubang tanam untuk berbagai jenis tanaman, yaitu jagung, kacang, labu, singkong. Penggunaan pola tanam ini dipilih karena kondisi tanah NTT memiliki tingkat kesuburan yang berbeda dengan tingkat kesuburan tanah pulau jawa pada umumnya dan juga curah hujan yang rendah. Dengan demikian, kegagalan panen dapat dihindari. Kearifan lokal seperti ini harus tetap dilestarikan karena terbukti sesuai dengan kondisi alam NTT dan sesuai dengan pola pangan masyarakat NTT.

Dalam mendukung pengembangan wisata alam, beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh, diantaranya adalah pengaturan pengunjung. Pengunjung wisata alam tentu saja terbatas dan harus sesuai dengan daya dukung dan daya tampung destinasi wisata tersebut. Pengunjung berlebihan seperti halnya mass tourism tentu saja akan menyebabkan kerusakan lingkungan sehingga tidak berkelanjutan.

Selanjutnya adalah perhatian terhadap lingkungan itu sendiri. Dampak positif dari aktivitas wisata alam harus dapat dikembalikan ke alam lagi dalam bentuk perbaikan lingkungan dan menjaga lingkungan tersebut tetap alami. Juga penting membangun awareness atau kepedulian bagi masyarakat baik sebagai pengelola kawasan wisata alam dan pengunjung. Dalam paparannya ini juga, Odi Mesak selaku pelaku wisata menyatakan bahwa dari 3 aspek pengembangan wisata alam, awareness adalah aspek yang paling sulit untuk dibangun dibanding 2 aspek lainnya yaitu aksesibilitas dan amenity.

 

Sumber Berita : https://jasling.menlhk.go.id/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *