Kami telah memperbarui tampilan website, klik disini untuk mengakses versi lama website kami.

Terbitnya UU 32 Tahun 2024 Perkuat Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di tingkat Tapak

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada tanggal 7 Agustus 2024 yang lalu telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perihal ini telah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 138 serta Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6953, yang sebelumnya telah mendapat persetujuan pada Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Juli 2024. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 merevisi beberapa Pasal dalam rangka memperkuat implementasi atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Sebagai bagian dari sosialisasi UU 32/2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta pada Rabu (19/9/2024), menggelar Media Briefing untuk memberikan keterangan kepada rekan-rekan media. Hadir sebagai narasumber adalah Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono dan Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Prof. Satyawan Pudyatmoko serta Dirjen Penegakan Hukum LHK, Rasio Ridho Sani dan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari, Dida Mighfar Ridha. 

Bambang menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah menjadi dasar hukum selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun dan menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumber daya alam hayati Indonesia, melalui 3 (tiga) pilar konservasi, yaitu: (1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 ini mempunyai posisi yang sangat penting dalam upaya tetap menjaga relevansi prinsip-prinsip konservasi, yang diperkuat implementasinya dengan kondisi saat ini,” terang Bambang.

Dalam proses yang cukup panjang, akhirnya dapat dilakukan perubahan terhadap sebanyak 21 Pasal dari total 45 Pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1990, yang telah disetujui bersama antara Pemerintah dengan DPR RI pada Rapat Paripurna DPR RI dalam rangka Pembicaraan Tingkat II Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 

Dalam proses pembahasan bersama dengan DPR RI, tim Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh KLHK selaku koordinator, bersama-sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri RI, dan juga telah terlibat aktif bersama-sama bertukar gagasan bersama semua stakeholders: akademisi, praktisi, aktivis, media dan semua pihak yang terlibat dalam proses lahirnya UU ini. 

“Pemerintah menyampaikan terima kasih kepada semua pihak atas kerja keras, dan yang secara konsisten terus mendorong perbaikan konservasi sumber daya alam di Indonesia, serta secara teguh berupaya menjaga koherensi antar undang-undang,” ungkap Bambang. 

Pemerintah meyakini bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya akan menjadi legacy instrumen hukum nasional guna menjawab berbagai perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam urusan konservasi dan sumber daya alam, yang dapat memberikan perlindungan terhadap kedaulatan negara, hak berdaulat, keamanan warga negara juga akses kesejahteraan dan dengan tetap konsisten melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam hayati serta ekosistemnya.

Pada kesempatan ini juga, Dirjen KSDAE, Prof. Satyawan Pudyatmoko memberikan keterangan perihal substansi Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya sebagai Dasar Penguatan Penyelenggaraan Konservasi di Tingkat Tapak. 

Menurutnya, substansi revisi atau penyesuaian dengan esensi kebaharuan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mencakup terutama hal-hal sebagai berikut: 
(1) Pertama, bahwa pelaksanaan konservasi yang semula hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan masyarakat,  maka dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2024 ini diperluas tidak sebatas pemerintah pusat dan masyarakat tetapi juga menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.  
(2) Kedua, Pengaturan kegiatan konservasi di Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil (KKPWP3K), dan Areal Preservasi, yang diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan KSDAHE pada kawasan-kawasan tersebut.
(3) Ketiga, terhadap ekosistem penting di luar kawasan hutan konservasi dan hutan negara, telah diformulasikan dalam format baru pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2024 ini dengan tujuan untuk menjamin penerapan prinsip konservasi di luar areal KSA, KPA dan KKPWP3K, yaitu melalui pengaturan Areal Preservasi. Dengan demikian, ekosistem penting termasuk keberadaan tumbuhan dan satwa liar di luar KSA, KPA, dan KKPWP3K mendapatkan kepastian hukum dalam pengelolaannya ke depan. 
(4) Keempat, memperkuat penegakan hukum terutama kewenangan PPNS, serta Penguatan Larangan, Sanksi dan Pidana, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan KSA dan KPA dengan norma larangan tindak pidana di bidang tumbuhan dan satwa liar termasuk kejahatan yang mempergunakan media sosial. Demikian pula klausul mempertegas dan memperberat sanksi pidana termasuk pemberatan sanksi untuk korporasi; serta sanksi pidana tambahan antara lain pembayaran ganti rugi; biaya pemulihan ekosistem; serta biaya rehabilitasi, translokasi, dan pelepasliaran satwa. Atas ketegasan dan langkah law enforcement yang kuat dalam menjaga konservasi habitat dan spesies ini sangat kita hargai bersama.
(5) Kelima, Aspek pendanaan untuk biodiversity baik secara nasional maupun secara internasional juga telah dirumuskan baik pengkondisian, penghimpunan, juga untuk implementasinya, melalui pola-pola: dana konservasi, dana perwalian, serta insentif atas kinerja memperkuat penyelenggaraan KSDAHE, dan untuk para pihak yang telah berperan-serta mendukung penyelenggaraan konservasi. 
(6) Keenam, Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan konservasi, juga telah diatur dalam Bab Peran Serta Masyarakat, dengan menegaskan posisi dan peran masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat dalam penyelenggaraan KSDAHE, yang diperkuat dengan berbagai instrument kebijakan, yang dalam implementasinya, akan selalu berkaitan dengan berbagai relevansi sosial. 
(7) Ketujuh, Pada UU Nomor 32 Tahun 2024 ini juga diakomodir istilah sumber daya genetik dalam aspek pengawetan dan pemanfaatan. Penambahan tersebut lebih bersifat sebagai “payung”, yang mana akan dapat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini antara lain untuk menindaklanjuti protocol Nagoya.

Selanjutnya UU Nomor 32 Tahun 2024 memandatkan penyusunan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan berkenaan dengan substansi untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut saat ini sedang dipersiapkan dalam waktu singkat untuk dapat mengakomodasi seluruh substansi yang menjadi concern dari DPR RI selama pembahasan RUU ini.

Sementara itu, Dirjen Penegakan Hukum LHK, Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa UU 32/2024 menjadi penguatan dalam upaya penegakan hukum. Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diperkuat sehingga memiliki otoritas yang lebih besar dan mandiri dalam menangani tindak pidana konservasi sumber daya alam, dan mempercepat proses hukum.

Menurutnya, sanksi pidana dalam UU 32/2024 ini dapat memberikan ancaman yang lebih berat kepada korporasi atau orang perorangan yang melakukan kejahatan lingkungan. Misalnya, apabila terdapat korporasi yang melakukan tindak pelanggaran seperti perusakan kawasan di KSA diancam hukuman penjara hingga maksimal 20 tahun dan denda maksimal 200 Milyar Rupiah. 

Selain itu, dapat juga dikenakan pidana tambahan antara lain: (a) pembayaran ganti rugi; (b) biaya pemulihan ekosistem;  (c) biaya rehabilitasi, translokasi, dan pelepasliaran 
(d) biaya pemeliharaan TSL; (e) perampasan TSL; (f) pengumuman putusan pengadilan; (g) pencabutan izin tertentu; (h) pelarangan permanen; (i) penutupan seluruh atau sebagian kegiatan usaha; (j) pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha; dan (k) pembubaran Korporasi.

“Penyitaan kekayaan atau pendapatan Korporasi bila tidak dilaksanakan dalam 2 tahun,” pungkas Rasio Sani.

https://ppid.menlhk.go.id/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *