Delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Para Pihak ke-15 (Conference of the Parties) dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) atau yang dikenal dengan COP-15 CBD di Montreal, Kanada sejak tanggal 7 hingga 19 Desember 2022. Bertindak sebagai Ketua Delegasi adalah Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Alue Dohong, dan Duta Besar RI untuk Kanada, Daniel T.S. Simanjuntak sebagai Ketua Delegasi Pengganti. Komposisi delegasi Indonesia terdiri dari wakil sejumlah Kementerian dan Lembaga terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PPN/Bappenas, Badan Pangan Nasional, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta KBRI Ottawa.
Pertemuan COP-15 berupaya menghasilkan komitmen global untuk melestarikan dan melindungi keanekaragaman hayati dunia serta menjamin penggunaan yang berkelanjutan dan pembagian manfaat yang adil dan seimbang. Tujuan tersebut dicapai melalui penyusunan Kerangka Keanekaragaman Hayati Global (Global Biodiversity Framework/GBF) yang salah satunya mengusulkan penetapan target konservasi atas 30% area darat dan laut dunia pada tahun 2030 (30 by 30).
Berbagai studi menyimpulkan bahwa implementasi GBF akan membutuhkan pendanaan finansial yang sangat besar mencapai 700 milyar dollar. Sebagai negara berkembang dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, Indonesia berpotensi memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan negara maju dalam pelaksanaan target 30 by 30, yang berimplikasi pada beban pembiayaan negara.
Untuk itu, dalam pertemuan tingkat tinggi (High Level Segment) COP-15, Wamen Alue Dohong menekankan pentingnya bagi seluruh pihak CBD untuk memberlakukan prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) dan penerapan kewajiban yang berkeadilan (equity) sebagai prinsip utama yang melandasi pembentukan GBF. Indonesia juga mendukung adanya peran dan tanggung jawab dalam perlindungan keanekaragaman hayati diantara elemen-elemen masyarakat.
“Bagi Indonesia, prinsip CBDR telah menjadi jus cogens (asas dasar) dalam hukum lingkungan internasional dan hal ini telah direfleksikan dalam Pasal 20 CBD, Prinsip ke-7 dari Deklarasi Rio serta Persetujuan Paris. Indonesia tidak bisa menyetujui GBF apabila prinsip CBDR ini tidak diberlakukan”, demikian bunyi pernyataan tegas Wakil Menteri Alue Dohong di depan sidang umum yang dihadiri oleh delegasi dari ratusan negara dan observer.
Indonesia juga menekankan bahwa target global 30 by 30 akan sangat bergantung pada kontribusi nyata dari negara-negara mega-biodiversity yang kebanyakan adalah negara berkembang, yang memiliki kemampuan fiskal terbatas untuk mendanai implementasi GBF, dan memiliki hak untuk melakukan pembangunan (right to develop). Untuk itu, Wamen Alue Dohong menyerukan agar negara maju melaksanakan tanggung jawab pendanaan bagi negara berkembang sebagaimana telah dimandatkan Pasal 20 CBD sejak tahun 1992 namun sampai saat ini belum terealisasi.
Wamen Alue Dohong selanjutnya secara lugas menyatakan dukungannya atas posisi 70 negara-negara berkembang lain yang tergabung dalam Like-Minded Countries (LMCs) untuk meminta COP-15 membentuk Global Biodiversity Fund untuk mengurangi gap pembiayaan untuk implementasi GBF. Selama ini, Indonesia menerima bantuan kerja sama dalam pelaksanaan konservasi melalui Global Environment Facility (GEF). Namun besaran kontribusi GEF dalam pembiayaan nasional upaya konservasi masih sangat minim, yakni hanya 0.7% dari total kebutuhan pendanaan nasional untuk konservasi.
“Indonesia meminta komitmen lebih kuat dari negara-negara maju untuk meningkatkan kontribusi ke GEF secara signifikan selagi negara-negara berkembang mencari alternative funding melalui Global Biodiversity Fund,” ujar Wakil Menteri Alue Dohong menekankan pernyataannya.
Secara nasional, Indonesia telah berhasil mencapai berbagai target konservasi dalam GBF. Secara keseluruhan, Indonesia mendukung penuh penyusunan GBF yang ambisius, namun pragmatis.
Sampai dengan tahun 2020, lebih dari 54% kawasan hutan sudah merupakan kawasan lindung. Sedangkan untuk kawasan laut, sekitar 8,7% kawasan penting laut sudah dilindungi secara hukum. Pemerintah Indonesia pun berencana untuk menambah luasan kawasan lindung laut mencapai 32,5 juta ha pada tahun 2030 dan secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 30% pada tahun 2045.
“Kita semua harus memahami tidak semua negara memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama, serta tidak semua negara memiliki keahlian, teknologi, maupun kemampuan finansial yang dapat disandingkan dengan negara maju. Indonesia mendukung penuh penerapan CBDR melalui voluntary commitment yang menghormati penuh kondisi, prioritas dan kapabilitas masing-masing negara,” tegas Wamen Alue Dohong pada sesi penutupan Sidang COP-15.
Di sela-sela sidang COP-15, Wamen Alue Dohong beserta delegasi juga melakukan berbagai pertemuan bilateral dengan Menteri dan pejabat tinggi sejumlah negara yaitu Kanada, Australia, Inggris, Jerman, dan Belanda.
Selain itu, Wamen Alue Dohong bertemu dengan perwakilan dari Institute Dayakologi. Dalam pertemuan tersebut, Wamen Alue Dohong memberikan pemahaman mengenai posisi Indonesia yang memprioritaskan hasil COP-15 yang adil dan berkelanjutan serta mengakui CBDR, serta meminta kontribusi nyata dari negara maju untuk meningkatkan komitmen pendanaan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.
http://ppid.menlhk.go.id/